tumkongreler.com – Tidak hanya terkenal dengan hiruk pikuk ibukota, daerah di Jakarta juga banyak menyimpan sejarah yang jarang diketahui.
Seperti kawasan Menteng, Jakarta Pusat. Konon, tempat ini memang sudah menjadi permukiman elite sejak zaman kolonial Belanda.
Lanskap Menteng sebagai kawasan elite merupakan salah satu peninggalan pemerintah kolonial Belanda yang ingin mendirikan hunian untuk para orang-orang kaya. Awalnya tanah yang kini bernama Menteng itu sering berpindah kepemilikan.
Baca : Bye Pandemi! Ini Alasan WHO Hapus Status Darurat Global Covid
Di pertengahan abad ke-18, tanah tersebut dikuasai orang Arab bernama Assan Nina Daud. Lalu berpindah lagi ke tangan kompeni bernama Jacob P. Barends. Setelahnya, jatuh lagi ke tangan orang Arab.
Menariknya mengacu pada buku Menteng: Sejarah Kota Taman Pertama di Indonesia (2001), kepemilikan tersebut, khususnya oleh orang Arab, bukan digunakan untuk kegiatan fungsional, melainkan murni untuk investasi. Artinya, sejak masa kolonial tanah di kawasan ini difungsikan untuk jangka panjang karena dipercaya harganya bakal naik.
Hingga akhirnya, titik balik penggunaan tanah menjadi hal fungsional terjadi pada 1908. Perusahaan real estate bernama NV De Bouwploeg (baca: boplo) membeli tanah daerah Menteng yang masih alami sebesar 238.870 Gulden. Penyebabnya karena kebutuhan besar Batavia akan ruang hidup yang lebih besar.
Restu Gunawan dalam Gagalnya Banjir Kanal (2010) menyebut perubahan ini membuat tanah swasta tersebut yang masih ditanami padi, kelapa dan rumput segera dibebaskan. Dan, pembebasan ini bertujuan untuk menyediakan permukiman bagi masyarakat golongan atas yang terus bertambah karena masifnya pertumbuhan orang kaya baru berkat suksesnya perdagangan hasil bumi.
Singkatnya, mereka butuh hunian yang mampu mencukupi kebutuhan parlentenya. Awal keseriusan menata kawasan dilakukan oleh arsitek P.A.J Moojen tahun 1910.
Dalam riset “Perkembangan Permukiman Menteng Jakarta pada Masa Kolonial” (2020) oleh Alnoza, Moojen mendapat tugas untuk mengembangkan kawasan Gondangdia dan sekitarnya dengan konsep yang luar biasa mewah, yakni garden city.
“Di daerah Menteng ini kemudian dibangun pemukiman yang diharapkan mempunyai standar sanitasi dan estetik Eropa saat itu (1900-1920). Konsep ini secara umum memperlihatkan sebuah permukiman dengan suasana teduh taman, jalan-jalan yang besar, kanal-kanal dan trotoar yang lebar,” tulis Alnoza.
Setelah kawasan itu dibentuk oleh Moojen, seketika nilainya bertambah. Harganya makin mahal. Buku Sejarah Nasional Indonesia (2008) menyebut dalam sekejap pejabat dan kalangan terkemuka langsung mendiami kawasan yang kini disebut Menteng itu. Sedangkan, masyarakat pribumi tidak tinggal di sana karena harga propertinya yang mahal.
Baca : Muncul Penampakan Makhluk Mirip Alien dari Laut, Ini Faktanya
Di zaman pendudukan Jepang, rumah-rumah yang kebanyakan milik orang-orang Belanda itu kemudian berpindah tangan, baik ke para pejabat Jepang, seperti Laksamana Maeda, maupun kepada elite Indonesia yang dipekerjakan Jepang seperti Ahmad Subardjo, Sukarno atau Hatta.
Setelah 1950, banyak pejabat Republik Indonesia yang mulai tinggal di daerah tersebut. Sampai saat ini kawasan ini termasuk dengan harga tanah tertinggi di DKI Jakarta, dan masih mempertahankan diri sebagai kawasan elite Jakarta.