tumkongreler.com- Dinamika perekonomian pada tahun ini dihadapkan dengan penuh ketidakpastian. Pengendalian inflasi sejak dini menjadi salah satu hal yang harus difokuskan pemerintah dalam menjaga daya beli masyarakat.
Ekonom Senior & Menteri Keuangan Indonesia (2014-2016) Bambang Brodjonegoro menjelaskan, laju inflasi global saat ini merupakan sebuah anomali.
Baca:Harga Batu Bara Ambruk, Rupiah Ikut Terpuruk
Di Jepang misalnya, data inflasi terakhir mencapai 6%, padahal biasanya untuk mencapai inflasi di atas 0% itu sangat sulit, karena di negeri matahari terbit itu tidak punya lagi sumber pertumbuhan ekonomi.
“Namun mencatatkan inflasi 6%. Amerika Serikat (AS) yang inflasinya relatif rendah, bahkan inflasinya mencapai 8% dan Inggris mencapai 10%,” jelas Bambang saat melakukan rapat dengar pendapat dengan Banggar DPR, Kamis (9/2/2023).
“Artinya memang inflasi tinggi adalah gejala global dan harus disikapi oleh pemerintah bersangkutan, dengan tingkat bunga melalui bank sentralnya,” kata Bambang lagi.
Adanya tingkat bunga bank sentral yang tinggi, otomatis perekonomian di negara-negara tersebut akan terkoreksi ke bawah. Artinya pertumbuhan ekonomi mereka akan lebih rendah dari sebelumnya.
Inflasi yang tinggi di negara-negara maju, yang juga mewakili ekonomi terbesar dunia, pada akhirnya akan berdampak terhadap permintaan global menjadi turun.
“Itu kenapa ekspor kita yang padat karya, seperti tekstil, garmen, sepatu, dan elektronik (yang melambat), itu lebih terjadi karena memang permintaan global yang lemah,” jelas Bambang.
Kinerja ekspor Indonesia, tertolong oleh komoditas unggulan seperti batubara, minyak kelapa sawit, dan sebagainya yang berhasil membuat laju ekspor Indonesia cukup berkesan. Selama 32 bulan berturut-turut neraca perdagangan Indonesia mengalami surplus.
Secara kumulatif, nilai ekspor Indonesia Januari-Desember 2022 mencapai US$ 291,98 miliar atau naik 26,07%, dibanding periode yang sama tahun 2021. Sementara itu, ekspor nonmigas mencapai US$ 275,96 miliar atau naik 25,80%.
“Jadi PR-nya jangan sampai Indonesia terkena inflasi tinggi. Ini harus dilanjutkan di tahun 2023 ini,” jelas Bambang. Apalagi pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi tanah air pada tahun ini dapat mencapai 5,3% (yoy).
Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2022 mencapai 5,31% (year on year/yoy), dengan tingkat inflasi mencapai 5,51% (yoy) pada 2022.
Pemerintah pun patut mewaspadai tren konsumsi masyarakat, karena sumbangan konsumsi masyarakat terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia saat ini berada dalam tren yang menurun.
Pada 2019 hingga 2021, rata-rata kontribusi konsumsi rumah tangga terhadap PDB adalah 56,2%. Rinciannya, pada 2019 adalah 56,63%, pada 2020 naik ke 57,65%, dan 2021 turun ke 54,42%.
Sementara pada 2022, kontribusi rumah tangga terhadap PDB hanya 51,87%, lebih rendah dari realisasi 2019-2021.
Namun, Bambang optimistis dibandingkan dengan negara lain, Indonesia masih memiliki kemampuan pengendalian inflasi yang lebih baik.
“Dilihat perbandingan negara, maka Indonesia masih punya kemampuan mengendalikan inflasi, yang membuat konsumsi rumah tangga menjadi sumber pertumbuhan,” ujarnya.