tumkongreler.com – Mantan presiden Rusia dan yang juga sekutu Presiden Vladimir Putin, Dmitry Medvedev, kembali buka suara soal kemungkinan penggunaan senjata nuklir. Hal ini terjadi saat hubungan Moskow memanas dengan Barat akibat perang di Ukraina.
Medvedev mengatakan bahwa pasokan senjata Barat yang berkelanjutan ke Kyiv berisiko menimbulkan bencana nuklir global. Diketahui, Rusia dan patron Barat, Amerika Serikat (AS), memiliki 90% dari total senjata nuklir dunia.
Dalam catatan Buletin Peneliti Atom pada Januari 2023, Negeri Paman Sam memiliki 3.708 hulu ledak nuklir. Dari jumlah tersebut, hanya sekitar 1.770 hulu ledak dikerahkan, sementara sekitar 1.938 disimpan sebagai cadangan.
Baca : Seksi I Tol Solo-Yogya-Kulon Progo Kelar 2023, Ini Rutenya
Di sisi lain, Rusia memiliki jumlah senjata nuklir yang lebih banyak. Pada Oktober lalu, lembaga yang sama menyebutkan Negeri Beruang Putih memiliki 4.447 hulu ledak nuklir.
“Tentu saja, peningkatan senjata dapat berlanjut… dan mencegah segala kemungkinan untuk menghidupkan kembali negosiasi,” kata Medvedev dipublikasikan di harian Izvestia dan dikutip Channel News Asia (CNA), Senin (27/2/2023).
“Musuh kita melakukan hal itu, tidak ingin memahami bahwa tujuan mereka pasti akan menyebabkan kegagalan total,” tambahnya.
“Kerugian bagi semua orang. Keruntuhan. Kiamat. Di mana Anda melupakan kehidupan lama Anda selama berabad-abad, sampai puing-puing berhenti memancarkan radiasi,” tegasnya.
Pernyataan Medvedev datang setelah Rusia memutuskan untuk membekukan sementara partisipasinya dalam kesepakatan pengurangan senjata nuklir, New START, dengan AS. Perjanjian itu mulai berlaku pada Februari 2011 lalu kemudian diperpanjang pada 2021 selama lima tahun lagi setelah Presiden AS Joe Biden menjabat.
Direktur lembaga riset Institut Penelitian Perdamaian Dunia Stockholm (SIPRI), Dan Smith, mengungkapkan bahwa hal ini berpotensi menimbulkan bahaya. Terutama di situasi global seperti sekarang ini.
“Ini adalah langkah yang mengecewakan, tidak imajinatif, tetapi tidak mengejutkan yang tidak diuntungkan oleh siapapun. Satu per satu pilar kontrol senjata nuklir antara Rusia dan AS telah diruntuhkan selama dua dekade terakhir,” ujarnya.
“Meskipun Presiden Putin belum menarik Rusia dari perjanjian itu, dia telah menciptakan ketidakpastian. Ini mungkin disengaja, tetapi juga bisa berbahaya dalam suasana permusuhan yang memanas saat ini,” tambahnya.
Sementara jurnalis AlJazeera mengatakan bahwa pengumuman ini dibuat Putin hanya untuk ditujukan ke khalayak internasional. Menurutnya, pengumuman ini akan memecah dukungan internasional.
“Menangguhkan perjanjian tidak sama dengan meninggalkan perjanjian,” kata kata Andrey Baklitskiy dari Institut Riset Perlucutan Senjata PBB di Twitter.
“Saya berasumsi tidak akan ada penumpukan (senjata nuklir) Rusia di atas batas perjanjian,” ujarnya.
Di sisi lain, setelah mengatakan membekukan New START, Putin kembali memberi sinyal soal nuklir. Putin juga mengatakan Rusia akan terus melengkapi angkatan bersenjatanya dengan peralatan canggih.
Baca : Awas Perang Nuklir di Depan Mata, Ini Kode Baru Putin ke NATO
“Seperti sebelumnya, kami akan meningkatkan perhatian untuk memperkuat triad nuklir,” kata Putin, merujuk pada rudal nuklir yang berbasis di darat, laut, dan udara.
Putin mengatakan bahwa untuk pertama kalinya, rudal balistik antarbenua Sarmat akan dikerahkan tahun ini. Sarmat adalah senjata dengan julukan “setan” yang mampu membawa banyak hulu ledak nuklir.
“Kami akan melanjutkan produksi massal sistem Kinzhal hipersonik berbasis udara dan akan memulai pasokan massal rudal hipersonik Zirkon berbasis laut,” katanya.
Diketahui perang besar-besaran Rusia-Ukraina masih terus berlangsung meski telah memasuki hampir satu tahun. Pada 24 Februari 2022 lalu, Putin memerintahkan pasukannya untuk masuk dan merebut beberapa wilayah di Timur Ukraina.
Dalam pidatonya setahun lalu itu, Putin menyatakan serangan itu sebagai ‘operasi militer’. Ia berdalih adanya operasi ini dilakukan untuk membebaskan masyarakat komunitas Rusia di wilayah itu dari kelompok ultranasionalis yang dibeking Kyiv serta memaksa Ukraina untuk tidak bergabung ke NATO.