tumkongreler.com- Presiden Joko Widodo gamang setelah menemukan kenyataan bahwa warga Indonesia di akhir 2022, memilih menyimpan uangnya di bank, ketimbang berbelanja.
Padahal, pemerintah telah mencabut pembatasan kegiatan (PPKM) dan infeksi Covid-19 melandai di akhir 2022. Namun, hal ini tidak mempan mendorong konsumsi dan belanja.
Jokowi pun menemukan kenyataan bahwa kenaikan dana tabungan masyarakat di perbankan mencapai Rp 690 triliun. Dana tersebut harus cair agar ekonomi nasional dapat berputar.
Baca : Rumor Pergantian Direksi Bank BUMN Berhembus, Ini Isunya!
“Kenaikan tabungan masyarakat di bank di tahun 2022 itu ada Rp 690 triliun. Dana masyarakat ditahan dan tidak dibelanjakan artinya masyarakat ngerem tidak ingin belanja,” kata Jokowi, dikutip Jumat (24/3/2023).
“Ini tidak boleh. Kita harus mendorong masyarakat agar belanja itu bisa sebanyak banyaknya untuk men-trigger pertumbuhan ekonomi kita,” papar Jokowi.
Kepala Ekonom PT Bank Mandiri Tbk. Andry Asmoro menilai ada empat fakta yang menjadi pemicu masyarakat menahan belanja.
Pertama, ada kekhawatiran akan kondisi perekonomian ke depan yg menurun terutama berlaku pada masyarakat berpenghasilan tidak tetap dan pengusaha.
“Akhirnya mereka saving untuk digunakan di rainy day,” kata Andry kepada CNBC Indonesia.
Kedua, dari catatan Andry, ada kenaikan biaya-biaya yang menekan real income mereka. Kondisi ini membuat konsumen melakukan efisiensi dengan belanja seperlunya atau mengurangi wisata dulu, menurut Andry.
Selanjutnya, di sisi ritel, dia melihat masih kurangnya promo diskon yang biasanya memicu masyarakat untuk belanja.
“Ini mungkin dipahami karena retailers juga banyak yg melakukan efisiensi biaya,” ujar Andry.
Namun, di samping itu, dia melihat ada sisi positif dari kondisi ini. Masyarakat bisa memilih menabung atau berinvestasi. Hal ini dilakukan dalam rangka menangkap peluang dari volatilitas yang ada.
“Di sisi positifnya, jika kita menggunakan persamaan Y = C + S yaitu pendapatan sama dengan ‘Konsumsi’ di tambah ‘Saving’, maka orang-orang bisa memilih menabung atau berinvestasi ke pasar modal,” paparnya.
Andry mengakui jika mengacu data tabungan dari LPS, kelompok tabungan dengan nominal di atas Rp 5 miliar meningkat tinggi dan jauh di atas level prapandemi. Adapun, hal yang tidak terlihat di kelompok bawahnya.
“Jadi kelompok atas memang masih menahan belanja,” tegasnya.
Kondisi ini dikonfirmasi oleh Mandiri Spending Index. Indeks milik Bank Mandiri yang melacak belanja masyarakat ini memperlihatkan bahwa masyarakat di kelompok atas level indeks konsumsinya masih di bawah kelas menengah.
Lebih lanjut, Direktur CELIOS Bhima Yudhistira mengungkapkan empat faktor tambahan yang memicu masyarakat menahan belanjanya saat ini.
Menurutnya, masyarakat masih mengantisipasi inflasi atau kenaikan harga barang yang masih tinggi
Kedua, masyarakat khawatir soal kebijakan pajak terutama pasca kenaikan PPN 11%
Ketiga, dia melihat masyarakat masih menunggu momentum pemulihan imbal hasil investasi di sektor riil. Misalnya, di sektor properti baru tahap kenaikan permintaan setelah 3 tahun terganggu pandemi.
“Jadi wait and see dalam investasi pun menjadi sebuah pertimbangan,” katanya.
Terakhir, faktor kegaduhan politik termasuk hadirnya wacana penundaan pemilu membuat konsumen kaya kurang percaya diri dalam belanja turut berpengaruh.
“Banyak yang menunggu pasca-Pemilu sampai ada kejelasan kebijakan terutama yang berkaitan dengan perizinan, pembangunan infrastruktur, termasuk IKN dan lain sebagainya,” tegasnya.