tumkongreler.com – Sektor nikel akhir-akhir ini dipenuhi kabar baik. Hanya saja, harga saham emitennya belum sungguh-sungguh lepas landas.
Kendati harga nikel terkoreksi 13% year to date (YtD) ke USD26.932/ton per 20 Februari 2023, usai sempat melonjak 44% sepanjang 2022, reopening China hingga lanjutan proyek pabrik baterai kendaraan listrik (EV) menjadi sentimen positif untuk sektor tersebut.
Perusahaan yang membangun pabrik terintegrasi untuk industri baterai EV, termasuk
smelter HPAL, akan diuntungkan dengan arah kebijakan pemerintah mengejar perkembangan EV di Tanah Air ke depan.
Dalam jangka pendek, reopening China, sebagaimana disinggung di muka, bisa menjadi katalis positif untuk pasar nikel sebagai bahan campuran untuk memproduksi baja anti karat.
Dalam jangka pendek, reopening China, sebagaimana disinggung di muka, bisa menjadi katalis positif untuk pasar nikel sebagai bahan campuran untuk memproduksi baja anti karat.
Baca : Batasan Jumlah Saham Jadi Ganjalan Pertamina Hulu IPO
Indonesia sendiri bisa dibilang sebagai ‘gudangnya’ logam seperti nikel, tembaga hingga bauksit, memiliki keunggulan besar. Indonesia menjadi salah satu eksportir stainless steel terbesar, dengan nilai USD5,8 miliar per periode 11 bulan pertama 2022.
Sentimen lainnya, sebagaimana disebut oleh riset Bahana Sekuritas pada Februari ini, soal rencana pemerintah Filipina untuk mengenakan pajak ekspor ore nikel sebesar 10% yang bisa menguntungkan pemilik pabrik smelter RI.
Ini karena biaya input perusahaan China akan meningkat, yang akan mengerek harga nickel pig iron (NPI) dan meningkatkan rerata harga jual (ASP).
Sedangkan, penurunan harga batu bara pada gilirannya akan menurunkan secara signifikan cash cost smelter dan karenanya margin perusahaan bisa melebar. Ini lantaran batu bara menyumbang sekitar 30% biaya produksi.
Saham Belum Tancap Gas
Sentimen EV sebenarnya sudah bergema sejak akhir 2020 dan awal 2021 lalu, beberapa investor sempat kecewa dengan penurunan tajam saham nikel-yang sempat melesat-usai kabar Tesla urung bikin pabrik di RI waktu itu.
Seolah déjà vu, saham-saham nikel sempat membumbung tinggi di pada Januari hingga awal Februari lalu. Saham PT Merdeka Copper Gold Tbk (MDKA) misalnya, sempat menguat ke Rp4.950/saham dengan kenaikan 19,8% selama year to date (YtD).
Kemudian, saham PT Vale Indonesia Tbk (INCO) dan PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) juga masing-masing sempat melonjak ke Rp7.600 dan Rp2.370 pada awal Februari. Kenaikan YtD kedua saham ini saat itu sebesar 7,04% dan 19,4%.
Hanya saja, seiring koreksi harga nikel dan aksi ambil untung (profit taking), kenaikan YtD saham-saham tersebut berkurang, bahkan menjadi terkoreksi.
Per Jumat (24/2), harga saham MDKA berada di Rp4.000, tetap naik 4,37% YtD, INCO di Rp6.625 (-6,7% YtD), ANTM ke Rp2.000 (0,76% YtD).
Baca : Canggih! Pilpres Nigeria Sudah Pakai Teknologi AI, Kayak Apa?
Kalau boleh adil, tidak hanya sentimen soal EV dan nikel yang mendorong MDKA cs, melainkan harga komoditas emas dan sejenisnya.
Ini karena, MDKA, selain sedang mengembangkan tambang nikel, secara tradisional merupakan penambang emas dan tembaga. Demikian pula dengan ANTM yang punya produk emas dan lainnya.
Ke depan, apabila rencana penawaran saham perdana (IPO) anak usaha MDKA, Merdeka Battery Materials (MBM) sukses, hal tersebut akan memiliki daya ungkit, terutama secara valuasi dan kinerja, bagi Merdeka Copper.
Demikian pula, kinerja penambang nikel tradisional macam Vale Indonesia berpeluang membaik seiring normalisasi harga batu bara di tahun ini, seperti dijelaskan di muka.
Asal tahu saja, beban pokok INCO membengkak sepanjang 2022, kendati mencatatkan laba bersih. Lonjakan harga nikel memang menjadi malaikat penyelamat INCO tahun lalu.
Hingga akhir 2022 kemarin, labanya naik 20,8% secara tahunan menjadi US$ 200,4 juta.
Namun, di balik kenaikan itu, INCO sejatinya terbebani kenaikan bahan baku efek kenaikan harga komoditas. Pada pos keuangan ini, INCO mencatat kenaikan beban pokok 22,94% secara tahunan menjadi US$ 865,88 juta dari sebelumnya US$ 704,32 juta.
Jika dirinci lebih lanjut dari laporan keuangan perusahaan, Jumat (17/2/2023), beban bahan bakar minyak dan pelumas menjadi pemicu kenaikan beban pokok. Beban bahan bakar ini tercatat US$ 180,16 juta, lompat 59,67% secara tahunan dari sebelumnya US$ 112,83 juta.
Beban bahan bakar minyak dan pelumas itu juga menjadi kontributor beban terbesar, setara sekitar 21% dari total beban pokok di 2022.
Baca : Pasar Nego ‘Gelap’, BEI: Semua Transaksi Kami Awasi
Kenaikan harga komoditas itu diakui oleh CEO dan Presiden Direktur INCO, Febriany Eddy. Bahkan, menurutnya, kenaikan harga komoditas pada 2022 signifikan dibanding level harga 2021.
Namun, lanjut Febriany, kenaikan harga komoditas masih bisa dikompensasi oleh rata-rata harga nikel 2022 yang 35% lebih tinggi dari 2021. Kenaikan ini turut mengerek pendapatan konsolidasi INCO 23,71% secara tahunan menjadi US$ 1,18 miliar dari sebelumnya US$ 953,17 juta.