tumkongreler.com- Sepuluh tahun pertama sejak kemerdekaan adalah masa sulit bagi ekonomi Indonesia. Perang melawan Belanda membuat roda perekonomian macet. Rakyat banyak yang mati. Infrastruktur hancur. Belum lagi, pada 1949 Indonesia harus membayar hutang-hutang Belanda sejak masa kolonial untuk menebus kemerdekaan. Sudah jatuh tertimpa tangga pula.
Maka, sebagai cara terbaik untuk mendongkrak perekonomian rakyat, koperasi di jadikan Sukarno sebagai andalan. Fadli Zon dalam disertasinya berjudul Pemikiran Ekonomi Kerakyatan Mohammad Hatta (1926-1959) (2016) menyebut pemerintah mengandalkan koperasi sebagai medium ekonomi kerakyatan. Sistem gotong royong pada koperasi dapat mengisi kekosongan kebutuhan modal usaha dan kebutuhan bahan pokok sehingga mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Untuk merealisasikan hal ini pemerintah menaruh perhatian khusus untuk mengurus koperasi. Pada 1958, misalnya, pemerintah memberikan kredit dan subsidi untuk pendirian koperasi. Adanya kebijakan ini membuat beberapa pengusaha dan kelompok masyarakat berlomba-lomba mendirikan koperasi hingga tumbuh subur di kota dan pedesaan.
Baca:Efek Sabda Powell Cuma Sehari, Wall Street Melemah Lagi
Mengutip Amiruddin Al-Rahab dalam Ekonomi Berdikari Sukarno (2014), pemerintah ingin koperasi menjadi satu bentuk kegiatan ekonomi dalam sektor produksi, distribusi, dan konsumsi. Karena itu koperasi di nilai tidak boleh menjadi pemusatan modal untuk mencari untung, tetapi tempat perkumpulan orang yang berusaha meringankan beban hidup dan memajukan usahanya atas dasar kerja sama.
Jika Hatta bergerak untuk memberi sumbangsih pemikiran, maka Sukarno-lah yang menjadi motor penggerak hidup-matinya koperasi. Tiap kali Sukarno berpidato di suatu acara, tak jarang menyelipkan pembahasan pentingnya koperasi bagi ekonomi rakyat. Ini menunjukkan kalau Sukarno sangat percaya dan bermimpi menjadikan koperasi sebagai penggerak ekonomi. Bagi Sukarno koperasi harus di fungsikan sebagai medium peningkatan pendapatan petani, buruh, dan rakyat miskin, sekaligus juga menjamin ketersediaan barang-barang bagi mereka. Sebab, ketiga golongan itu adalah tulang punggung ekonomi Indonesia. Jika mereka produktif maka ekonomi Indonesia dapat bangkit.
Intinya di tengah gelapnya perekonomian, koperasi hadir membawa obor pencerahan.
Meskipun anggota dan jumlah koperasi melesat tinggi di tahun 1959-1966, peran koperasi terhadap ekonomi sangat kecil. Biang masalahnya adalah keberadaan oknum yang kurang ajar.
Pemberian kredit pendirian koperasi dari pemerintah rupanya hanya di manfaatkan oleh beberapa pengusaha. Mereka hanya ingin uangnya saja tetapi enggan mengurus koperasi. Tak hanya itu, pemberian kredit tersebut malah membuat koperasi tidak mandiri. Ketika uangnya di berhentikan, koperasi banyak bertumbangan. Masalah lain adalah saat koperasi tidak berhasil mempengaruhi harga pasar. Koperasi gagal memotong jalur distribusi. Harga-harga di koperasi sama dengan harga pasar. Artinya, barang murah tak bisa di dapat dari koperasi.
Muara dari permasalahan ini di sebabkan karena anggota koperasi tidak tahu manajemen kepengurusan koperasi. Bisa di katakan, lewat ketidaktahuan ini para pemilik menipu rakyat lewat koperasi.
“Banyak koperasi yang didirikan tidak berdasarkan kebutuhan para anggotanya melainkan atas dasar beberapa orang pemilik modal dan pemilik tanah di pedesaan,” tulis Amiruddin.
Para pemilik modal dan tanah itu mendirikan koperasi untuk kepentingan dirinya sendiri. Bantuan dana dari pemerintah justru tidak diputar untuk kemajuan koperasi dan anggotanya. Rakyat kecil yang polos tidak mengetahui ada dalih tersembunyi di balik otak para pemilik modal dan tanah.
Akibatnya, kata Amiruddin, “pada akhirnya rakyat terjebak dalam hutang dengan koperasi kredit.”
Posisi rakyat yang lemah ini membuatnya tidak dapat untung, yang ada malah buntung.
Atas kelakuan seperti ini ditambah dengan makin sulitnya ekonomi, koperasi hidup setengah mati. Koperasi perlahan tertinggal. Mimpi Sukarno dan Hatta pun tak terwujud.