tumkongreler.com – Mantan Menko Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Indonesia era Pemerintahan Presiden Joko Widodo, Rizal Ramli, mengungkapkan penyebab industri manufaktur di tanah air tak kunjung kompetitif dibanding negara lain.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) hingga kuartal I 2023 saja, industri pengolahan tanah air hanya mampu tumbuh 4,43 %, jauh lebih rendah dari pertumbuhan sektor transportasi dan pergudangan yang mencapai 15,93%.
Menurut Rizal Ramli, penyebab utama lemahnya geliat industri manufaktur di Indonesia pertama disebabkan tidak adanya teknologi buatan anak bangsa yang mampu mendorong kinerja produksi dan kualitasnya. Padahal andil industri pengolahan itu 18,57% terhadap ekonomi RI.
“Padahal teknologi itu kita bisa contek, namanya reverse engineering. Semua begitu dulu, Jepang dulu contek dari Amerika, Korea nyontek dari Jepang,” kata Rizal dalam Program Your Money Your Vote tumkongreler, Jumat (5/5/2023).
Baca : Heboh Negara Persemakmuran Inggris Mau Hengkang, Ada Apa?
Faktor kedua, menurutnya ialah beban biaya operasional industri di Indonesia yang sudah sangat mahal, terutama dari sisi biaya untuk persoalan birokrasi yang mencapai 15% dari total biaya yang dikeluarkan industri.
“Itu makanya Indonesia tidak pernah kompetitif karena biaya birokrasinya 15-20% dari total cost. Kalau kita hapus KKN, korupsi, industri Indonesia competitive, banyak dari Jepang, dari Korea Selatan ke sini,” ungkap Rizal.
Persoalan birokrasi dari sisi aturan itu kata Rizal sebetulnya sudah mendapat perhatian dari Presiden Joko Widodo, namun ia dianggap salah langkah dengan cara menerbitkan UU Omnibus Law Cipta Kerja. Sebab, secara komponen malah membebani pengusaha kecil.
“Tebalnya 1000 halaman. Semakin tebal semakin pengusaha kecil enggak mampu penuhi syarat-syaratnya itu, akhirnya nyogok lagi. Nanti kita batalin deh UU Omnibus Law,” tegas dia.
Baca : Warga Korut Disebut Dukung Biden Habisi Kim Jong Un
Terakhir menurutnya disebabkan oleh biaya modal yang lebih cenderung pro terhadap impor. Akibatnya daya saing industri dalam negeri untuk memasok komponen bagi industri-industri besar atau berskala besar dan global tergantikan posisinya.
“Karena impor sangat gampang, tidak ada tarif yang berarti dan dari total kredit 100% juga hanya untuk usaha kecil sama menengah sebesar 18%, sisanya buat yang besar padahal yang besar bisa nerbitin saham, pinjam luar negeri,” ungkapnya.
Atas dasar itu, ia menyarankan supaya presiden yang akan datang mencatat sejumlah catatan ini. Namun, ia pesimistis karena para calon presiden yang tampil saat ini kebanyakan malah menyatakan ingin melanjutkan program-program kerja Presiden Joko Widodo.