tumkongreler.com – Badai resesi global kian dekat. Sejumlah indikator makroekonomi yang menjadi dasar atas ‘ramalan’ tersebut terus menegaskan bayang-bayang periode suram pada 2023.
Di Amerika Serikat (AS), yang masih menjadi ‘kiblat’ perekonomian global, sejatinya ada ‘kabar baik’ terkait inflasi yang sempat melambung tinggi.
Pada November 2022, inflasi AS sudah berada di level 7,1% secara tahunan (year-on-year/yoy), penurunan kelima secara beruntun dari rekor tertinggi dalam 41 tahun pada Mei 2022 sebesar 9,1% yoy. Namun, terlepas dari tren penurunan yang terus terjadi, inflasi tersebut masih jauh di atas target bank sentral AS (Fed) sebesar 2%.
Seiring dengan inflasi yang terus menurun, Fed juga sejatinya mulai mengendurkan kebijakan fiskalnya. Dalam pertemuan bank sentral terakhir pekan ini, Fed akhirnya ‘hanya’ menaikkan suku bunga sebesar 50 basis poin menjadi 4,25%-4,5%.
Asal tahu saja, dalam empat pertemuan sebelumnya, Fed terus tancap gas dengan menaikkan suku bunga acuan masing-masing 75 basis poin.
Namun, kenaikan 50 basis poin nyatanya masih cukup mengkhawatirkan di tengah tekanan untuk segera membangkitkan ekonomi AS yang sejak paruh kedua tahun ini ‘mondar-mondar’ di bibir jurang resesi.
Melansir Business Insider, kondisi yang serba nanggung itu tampaknya turut membebani Fed yang masih gamang meramalkan kondisi pada tahun depan.
“Tidak ada yang tahu dengan pasti di mana ekonomi akan berada satu tahun atau lebih dari sekarang,” kata Ketua Fed Jerome Powell dalam konferensi pers pascapertemuannya pada Rabu (14/12/2022).
“Saya kira tidak ada yang tahu apakah kita akan mengalami resesi atau tidak,” tambah Powell.
Menurutnya, mencapai soft landing masih memungkinkan, di mana Fed dapat terus melawan inflasi sambil menghindari penurunan ekonomi. Apabila tren penurunan inflasi bertahan, soft landing menjadi lebih mungkin.
Meskipun demikian, Fed tampaknya tak terlalu berharap inflasi bakal turun drastis ke kisaran yang di inginkan seperti sebelum pandemi pada level 2%. Powell pun menyatakan suku bunga akan terus naik hingga perekonomian mencapai level tersebut.
Baca Juga: RI Siap Bangun Pembangkit Nuklir? Ini Kata Menteri ESDM
Adapun, ringkasan proyeksi ekonomi yang merilis bank sentral mencatat inflasi 2% kemungkinan tidak akan tercapai pada akhir tahun depan dengan proyeksinya sebesar 2,8%. Artinya, warga AS belum bisa menikmati kondisi harga sama seperti kondisi prapandemi.
Sementara itu, jika AS benar-benar terperosok ke dalam jurang resesi, kondisinya bisa jadi tak separah yang terbayangkan. Laporan Insider sebelumnya menyebutkan bahwa resesi tahun depan dapat berupa resesi pertumbuhan, di mana ekonomi mengalami kontraksi dangkal sambil mempertahankan pasar tenaga kerja yang kuat.
Proyeksi ekonomi Fed juga memperkirakan tingkat pengangguran akan naik menjadi 4,6% pada akhir tahun depan, dan produk domestik bruto (PDB) akan mengalami pertumbuhan 0,5%, yang merupakan tahun pertumbuhan ekonomi yang rendah.
Lalu, bagaimana dengan kondisi di luar AS?
Setali tiga uang, apa yang terjadi di AS tak berbeda jauh dengan yang terjadi di belahan dunia lain, terutama Eropa yang juga tengah di hajar inflasi tinggi dan pertumbuhan ekonomi yang rendah.
Alasannya, biang kerok gejolak ekonomi yang terjadi tahun ini, yakni perang dan pandemi, di rasakan di seluruh dunia.
Tesaurus dari Reuters, masa-masa inflasi mulai ‘ganggu’ setelah pandemi Covid-19 menyerang. Pemerintah dan bank sentral ramai-ramai melonggarkan kebijakan fiskalnya sehingga pasar terus di guyur dana triliunan dolar AS.
Namun, ekonomi sejatinya tak bangkit secepat yang di harapkan. Pabrik-pabrik yang telah menganggur tidak dapat bangkit cukup cepat untuk memenuhi permintaan.
Dunia pun di landa kekurangan tenaga terampil di berbagai sektor. Di samping itu, harga energi tiba-tiba ‘meledak’ dengan permintaan yang terus pulih.
Sialnya, saat dunia mencoba memulihkan sistem ekonominya, Presiden Vladimir Putin menyulut perang di Ukraina yang memperburuk keadaan. Harga komoditas kian tak terkendali dan biaya hidup melambung tinggi.
Hasilnya, inflasi tinggi dan pertumbuhan ekonomi yang tak seberapa kini menjangkiti banyak negara.
Pekerja telah melakukan aksi mogok di berbagai sektor mulai dari perawatan kesehatan hingga penerbangan untuk menuntut agar upah mengimbangi inflasi. Dalam kebanyakan kasus, mereka harus justru harus menerima upah lebih sedikit.
Masalah biaya hidup mendominasi politik negara-negara kaya dan dalam beberapa kasus menurunkan prioritas lain, seperti tindakan perubahan iklim.
Para pemerintah dunia memang tak tinggal diam. Presiden AS Joe Biden, Presiden Prancis Emmanuel Macron, dan Kanselir Jerman Olaf Scholz telah meregangkan anggaran mereka untuk menyalurkan miliaran euro ke dalam program dukungan.
Namun, hal itu belum mampu berdampak signifikan terhadap prospek ekonomi secara global.
Adapun, prospek ekonomi dari IMF yang merilis Oktober lalu adalah salah satu yang paling suram selama bertahun-tahun, dengan menyatakan: “Singkatnya, yang terburuk belum datang dan bagi banyak orang, 2023 akan terasa seperti resesi.”