tumkongreler.com – China terus menekankan pengaruh geopolitiknya di dunia. Tak hanya ke wilayah Asia Pasifik, Negeri Tirai Bambu juga telah merambah ke arah Barat hingga Afrika.
Terbaru, pengaruh politik Beijing dilaporkan mencoba untuk masuk di wilayah Asia Tengah, yang secara historis di bawah kendali Rusia sebagai pewaris Uni Soviet. Ini terlihat dari bagaimana China menampilkan kampanye peningkatan hubungan ekonomi, politik, dan keamanan di wilayah itu.
Presiden China Xi Jinping dijadwalkan akan mengadakan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) dengan rekan-rekannya dari Kazakhstan, Kyrgyzstan, Tajikistan, Turkmenistan, dan Uzbekistan pada Kamis (18/5/2023) di Xi’an.
Baca : Bocoran Ordal: Tiket Umum Coldplay 19 Mei Sisa Sedikit!
Ini akan menandai keterlibatan profil tinggi terbaru pemimpin China pada saat Beijing dan Washington bergulat untuk pengaruh global.
KTT ini datang hanya seminggu setelah kepala negara dari kelima negara Asia Tengah melakukan perjalanan ke Moskow untuk menghadiri perayaan Hari Kemenangan yang menandai kemenangan Uni Soviet atas Nazi Jerman dalam Perang Dunia II.
“KTT Asia Tengah menunjukkan persatuan regional dan konsensus regional yang ditunjukkan terhadap Rusia dan China,” menurut Niva Yau, peneliti di Global China Hub Dewan Atlantik.
Yau mengatakan kepada Newsweek bahwa saat ini negara Asia Tengah dihadapkan pada fakta bahwa wilayah mereka bergantung dari pengaruh China dan Rusia.
Baca : Kisah Salim Bangkit dari Badai Krisis, Kembali Jaya & Tajir
Bagi China, menurutnya, KTT ini adalah kesempatan yang sangat baik untuk masuk dan semakin memperkuat berbagai dominasinya di kawasan, dalam hal ekonomi, dan dalam hal keamanan dan sosial.
“Dan, tentu saja, untuk China, tujuan terbesar yang dimilikinya di Asia Tengah adalah membuat wilayah tersebut memperkuat legitimasinya atas Xinjiang, wilayah yang memberi makan ekonomi China dalam hal energi dan bahan mentah,” tuturnya.
Xinjiang, yang delapan perbatasan internasionalnya mencakup tiga negara Asia Tengah, juga menjadi pusat tuduhan Washington terhadap Beijing melakukan ‘genosida’ terhadap komunitas Uighur yang sebagian besar Muslim di China dalam bentuk penahanan massal.
China dengan keras membantah tuduhan tersebut, dengan alasan bahwa itu adalah masalah keamanan yang berakar pada militansi Uyghur dengan potensi kebangkitan setelah penarikan militer Amerika Serikat (AS) dari negara tetangga Afghanistan.
“Ini selalu menjadi alasan utama yang mendorong China untuk semakin meningkatkan berbagai inisiatif dan membangun kehadiran di kawasan ini,” kata Yau.
“Dan saya pikir, sayangnya, AS tidak memiliki tingkat motivasi untuk keterlibatannya di Asia Tengah, sehingga menghasilkan proyek yang tidak dapat dilihat sebagai tandingan apa yang dilakukan China di wilayah tersebut.”
Wilayah Asia Tengah yang luas terletak di jantung benua Asia, berbatasan dengan Rusia di Utara, Afghanistan dan Iran di Selatan, China di Timur, dan Laut Kaspia di Barat. Selama sebagian besar abad ke-20, ia berada di bawah kendali langsung Uni Soviet, dan tetap dekat dengan Federasi Rusia sejak lima negara memperoleh kemerdekaan pada awal 1990-an.
Selama era yang berbeda untuk hubungan AS-Rusia, Washington dan sekutu NATO-nya berhasil membangun kehadiran militer di Kyrgyzstan, Tajikistan, dan Uzbekistan sebagai bagian dari upaya perang panjang melawan Taliban di Afghanistan.
Namun, pijakan ini tidak bertahan lama. Pasalnya, pasukan Barat meninggalkan wilayah itu pada 2014 di tengah kekhawatiran atas potensi efek limpahan dari apa yang akan menjadi konflik dua dekade.
Perginya AS dari wilayah itu kemudian dimanfaatkan China dan Rusia untuk membangun gerbong regionalnya. Kebanyakan negara-negara Asia Tengah tergabung dalam aliansi militer CSTO yang dikendalikan Moskow.
Di sisi lain, China terus memberikan keuntungan ekonomi berupa dana Sabuk dan Jalan (BRI) untuk pembangunan infrastruktur serta kerjasama lainnya.
Baca : Penampakan Jalan Mulus & Meliuk di Boven Digoel Bak di Eropa
Shen Shiwei, seorang analis dan jurnalis China, menganggap bahwa Beijing dan Moskow telah berbagi peran di wilayah itu sehingga tidak akan ada pertentangan di antara keduanya. Mereka berdua, menurutnya, telah melengkapi satu sama lain.
“Di Asia Tengah, China dan Rusia tidak bersaing tetapi saling melengkapi,” kata Shen.
“China memainkan peran penting dalam pembangunan ekonomi kawasan, dan Rusia masih tak tergantikan dalam hal keamanan dan stabilitas strategis. Di dalam Organisasi Kerjasama Shanghai (SCO), China, Rusia, dan negara-negara Asia Tengah menjalin kerja sama positif dalam keamanan kawasan dan anti- terorisme.”