tumkongreler.com- Rencana pemerintah untuk memindahkan keberadaan Depo atau Terminal Bahan Bakar Minyak (TBBM) Plumpang milik PT Pertamina (Persero) hingga kini masih terus berlangsung. Hal tersebut menyusul terjadinya insiden kebakaran di Depo tersebut hingga menelan korban jiwa sebanyak 23 orang.
Namun terlepas dari rencana itu, pendirian Depo BBM Plumpang sendiri sejatinya berawal dari pihak PT Pertamina yang membeli tanah seluas 153 hektar di kawasan tersebut pada tahun 1971.
Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Nicke Widyawati bercerita pihaknya membeli tanah seluas 153 hektar dari perusahaan bernama PT Mastraco. Setelah itu, pada 1976 dikeluarkanlah surat penetapan pemberian hak oleh Kementerian Dalam Negeri yang diperuntukkan untuk pembangunan instalasi minyak.
Baca : Kapan Ya Waktu dan Durasi Tidur Siang yang Tepat?
“Sehingga kalau kita lihat yang A (menunjukkan gambar) itu digunakan untuk TBBM Plumpang, ada beberapa tangki juga. Nah yang B, C dan D kondisinya dihuni warga,” ungkap Nicke dalam Rapat Dengar Pendapat bersama Komisi VI, Selasa (14/3/2023).
Adapun pada tahun 2017, berdasarkan pendataan yang dilakukan Pertamina dengan dibantu oleh Survei Indonesia lokasi B, C, dan D sudah banyak dihuni warga. Di mana total warga yang tinggal di wilayah tersebut mencapai 34.700 orang dengan 9.234 KK.
“Hari ini pasti sudah bertambah jumlahnya yang tinggal di sana,” kata Nicke.
Menurut Nicke jumlah tersebut tersebar di beberapa RT dan RW. Sehingga luasan lahan di lokasi A yang saat ini digunakan untuk fasilitas TBBM Plumpang hanya mencapai 72 hektar.
“Jadi lokasi A yang sekarang ada TBBM Plumpang termasuk yang ada Elnusa ini ada sekitar 72 hektar kemudian yang B itu 11 hektar yang C 12,5 hektar dan D disebut tanah merah ada sekitar 58 hektar,” ujarnya.
Seperti diketahui, Depo BBM tersebut dibangun pada 1971 dan beroperasi pada 1974. Bangunan berdiri di Kawasan Plumpang yang saat itu masih didominasi rawa-rawa. Jadi, tidak ada yang menghalangi langkah Pertamina untuk membangun depo BBM di daerah ini.
Barulah ketika Jakarta semakin padat dan masyarakat mulai berdatangan, lahan-lahan kosong pun dibabat untuk tempat tinggal. Ini terjadi sejak akhir tahun 1980-an. Firman Lubis dalam ‘Jakarta 1970-an’ (2018) menyebut, pada era 1980-an itu mulai banyak pohon karet dan rawa-rawa disulap menjadi pemukiman, seperti di kawasan Kebayoran, Pondok Indah, termasuk juga kawasan Plumpang, Jakarta Utara.
Di Plumpang, warga perlahan tinggal di sekitar depo secara ilegal. Awalnya, tak ada masalah dengan pemukiman di sana. Namun belakangan, makin ramai warga yang berdatangan dan menjadikan kawasan tersebut sebagai tempat pemukiman. Bahkan, warga setempat justru menyalahkan keberadaan depo yang dinilai tidak cocok dibangun di sana. Ini menjadi suatu keanehan, sebab depo sudah ada sebelum warga berdatangan dan membangun hunian tempat tinggal.
Salah satu masalah tersebut yang tercatat dalam sejarah adalah banjir. Mengutip Restu Gunawan dalam ‘Gagalnya Sistem Kanal’ (2010), pada 1980-an depo tersebut pernah dilanda banjir hingga membuat wilayah Jakarta kekurangan pasokan bahan bakar minyak.
Namun, masalah ini tak lagi jadi soal karena banjir hanya sesaat. Sejak itu, permasalahan yang selalu muncul adalah persoalan legalitas tempat tinggal warga. Namun, ada pula masalah seperti kebakaran yang sempat terjadi pada 2009.
Mengutip CNN Indonesia, warga di sana secara hukum pada mulanya dinyatakan ilegal. Mereka tidak memiliki Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Setelah bertahun-tahun, mereka baru mendapatkan legitimasi pencatatan sipil dari negara usai Joko Widodo menjadi Gubernur DKI Jakarta.
Berdasarkan arsip Detik (6 November 2012), tepat pada 2012 saat Jokowi menjadi Gubernur DKI Jakarta, warga setempat diberikan Kartu Tanda Penduduk (KTP).
Namun, setelah Jokowi digantikan oleh Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), polemik di kawasan tersebut muncul kembali. Sebagaimana diwartakan Detik, pada 2016 Ahok pernah mewanti-wanti agar penduduk Tanah Merah segara pindah. Alasannya karena mereka tinggal di kawasan yang seharusnya menjadi zona aman Depo Plumpang.
Namun wacana ini sirna setelah terjadi pergantian pimpinan ke Anies Baswedan. Di tangan Anies, Pemprov DKI menerbitkan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) untuk membantu pengurusan layanan umum bagi warga yang sudah tercatat kependudukannya berdasar KTP yang diterbitkan era Jokowi. IMB tersebut adalah IMB kawasan yang mencakup enam RW di tiga kelurahan.
Usai kasus kebakaran depo BBM pada Jumat lalu, “rebutan” lahan antara depo dan warga mencapai akhir. Pemerintah melalui Menteri BUMN akhirnya resmi menyatakan akan memindahkan depo yang telah berdiri hampir 50 tahun itu ke tempat lain, yakni tanah milik Pelindo, di daerah Kalibaru, Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara.