tumkongreler.com – Permasalahan ‘saham gorengan’ di portofolio perusahaan asuransi menjadi isu hangat akhir-akhir ini. Koleksi saham berlikuiditas rendah tersebut kerap disebut menjadi penyebab kasus gagal bayar asuransi.
Holding Badan Usaha Milik Negara (BUMN) asuransi Indonesia Financial Group (IFG) menyikapi hal ini. Salah satu strategi untuk meminimalisir resiko ini adalah dengan memperkuat pencadangan.
Baca : Tak Cuma Koko-Gamis, Pedagang Tanah Abang Cuan Gegara Ini!
Senior Research Associate IFG Progress Ibrahim Kholilul mengakui, penempatan dana asuransi di ‘saham gorengan’ memang sangat menarik. Mengingat sebagai investor pasti mengharapkan ‘shortfall’ atau return banyak dalam waktu singkat.
Namun, Ibrahim mengatakan, industri asuransi juga perlu belajar dari kejatuhan Silicon Valley Bank (SVB) yang baru-baru ini, bahwa jangan sekali-kali menaruh seluruh aset dalam satu instrumen saja. Karena jika kolaps, seluruh likuidasi bisa terganggu.
“Jadi menurut saya, kita harus ikut juga dengan persyaratan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dana asuransi ini ada porsinya, masuknya berapa persen ke obligasi, berapa persen ke saham, berapa persen ke yang lainnya. Saya rasa itu dapat membantu agar bisnis kita lebih sustainable,” tuturnya.
Hal ini disampaikan oleh Ibrahim saat sesi tanya jawab pada diskusi bertajuk “Outlook Industri Asuransi 2023” bersama sejumlah media di Kantor Pusat IFG, Gedung Graha Niaga, Jakarta, pada Selasa (21/03/23).
Untuk mengantisipasi risiko tersebut, IFG Life telah mempersiapkan strategi tersendiri. Tools tersebut dinamakan liability driven investment. Dalam instrumen ini, perusahaan asuransi mengalokasikan dana investasinya ke dalam dua tahapan aset.
Tahapan pertama adalah, perusahaan asuransi harus memastikan bahwa aset investasi yang dipegang sudah menyokong cadangan liabilitas. Baru, pada tahap selanjutnya, perusahaan asuransi boleh mencari surplus aset dari instrumen investasi yang lebih beresiko.
Sebagai informasi, penggunaan saham gorengan yang berujung pada kolapsnya asuransi terjadi di kasus Jiwasraya. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan adanya kerugian negara oleh PT Asuransi Jiwasraya (Persero) sebesar Rp 10,4 triliun karena ‘menggoreng’ saham investasi.
Ketua BPK Agung Firman Sampurna mengatakan perusahaan pelat merah tersebut menanamkan dana hasil penjualan produk JS Saving Plan pada saham dan reksa dana berkualitas rendah.
Baca : Cara Microsoft Kalahkan Apple-Google, Tak Cuma ChatGPT
Menurutnya, saham-saham tersebut antara lain adalah IIKP, SMRU, SMBR, PPRO, TRAM, MYRX, dan lain-lain. Indikasi kerugian sementara akibat transaksi tersebut diperkirakan sekitar Rp 4 triliun.